Teguh Ostenrik: Dari Kedokteran ke Seni, Perjalanan Mencari Identitas

Di balik setiap karya seni, selalu ada kisah yang membentuknya. Teguh Ostenrik adalah salah satu seniman Indonesia yang perjalanan hidupnya penuh dengan transformasi—dari seorang mahasiswa kedokteran hingga menjadi pelopor seni yang menyuarakan isu sosial dan lingkungan.

Awal Perjalanan: Dari Histologi ke Goethe Institute

Ketertarikan Teguh terhadap seni dimulai dari tempat yang tak terduga: ruang kelas fakultas kedokteran. Studi tentang Histologi dan Anatomi memberinya pemahaman visual yang mendalam—struktur mikroskopis jaringan tubuh manusia terlihat begitu artistik, seperti lukisan abstrak yang kompleks. Namun, titik balik sebenarnya terjadi ketika ia berkunjung ke Goethe Institute dan melihat lukisan altar karya Mathias Grünewald. Karya itu begitu menggugah hatinya hingga ia memutuskan untuk mengejar seni di Jerman.

Menemukan Diri di Berlin

Belajar di Hochschule der Künste Berlin (UdK Berlin) mengubah cara pandangnya terhadap seni. Di bawah bimbingan Profesor Lothar Fischer dan Hermann Bachmann, Teguh belajar bahwa seni bukan hanya ekspresi visual, tetapi juga alat intelektual untuk berdialog dengan ruang, masyarakat, dan sejarah. Kota Berlin, dengan kebebasannya, memberinya ruang untuk bereksperimen tanpa batasan formal.

Namun, di balik kebebasan itu, ada perjuangan bertahan hidup. Untuk mendanai pendidikannya, ia mengambil pekerjaan serabutan, termasuk mencuci piring. Pengalaman ini semakin mengukuhkan keyakinannya bahwa seni bukan sekadar estetika, melainkan cerminan dari perjuangan dan realitas sosial.

Kembali ke Indonesia: Menjembatani Tradisi dan Kontemporer

Setelah lebih dari satu dekade di Eropa, Teguh memilih kembali ke Indonesia pada 1988. Ia ingin terhubung kembali dengan akar budayanya dan berkontribusi pada perkembangan seni di tanah air. Kedatangannya membawa perspektif baru—bagaimana seni bisa menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas.

Teguh Ostenrik di ArtJog 2019

Salah satu contoh nyata dari pendekatan ini adalah proyek ARTificial Reef, sebuah instalasi seni bawah laut yang dirancang sebagai rumah bagi terumbu karang dan kehidupan laut. Karya ini bukan sekadar patung, tetapi juga solusi ekologis untuk konservasi lingkungan. Salah satu instalasi terkenalnya adalah Terumbu Karang Jikomalamo di Maluku, yang berasal dari Instalasi Daun Khatulistiwa karya Teguh Ostenrik. Karya ini pertama kali dipamerkan dalam ARTJOG MMXIX di Yogyakarta pada tahun 2019, sebelum akhirnya ditenggelamkan di Pantai Jikomalamo, Ternate, Maluku Utara. Rangka kubah yang terbuat dari logam tersebut dipadati karang sehingga menjadi rumah baru bagi ikan-ikan karang di perairan rekreasi setempat.

Mengangkat Isu Sosial dan Lingkungan Lewat Seni

Proses pemasangan ARTificial Reef Teguh Ostenrik

Dalam berkarya, Teguh selalu menyisipkan kritik sosial dan kepedulian terhadap lingkungan. Seri deFacement adalah salah satu bentuk kritiknya terhadap kapitalisme dan eksploitasi lingkungan. Ketika seorang galerist memintanya mengecat ulang karya-karya dari material daur ulang agar lebih mudah dijual, Teguh menolak. Baginya, penggunaan material bekas adalah bagian dari pernyataan artistiknya: manusia harus lebih peduli terhadap lingkungan.

Tak hanya dalam pameran galeri, Teguh juga berkontribusi dalam komunitas seni. Pada 2015, ia mendirikan Yayasan Terumbu Rupa, yang menciptakan ruang pameran bawah laut sekaligus meningkatkan kesadaran tentang konservasi laut.

Warisan dan Harapan untuk Seniman Muda

Bagi Teguh, seni bukan hanya tentang penciptaan, tetapi juga tentang menyuarakan perubahan. Ia berharap generasi seniman muda lebih berani mengangkat isu-isu sosial dalam karya mereka. Seni, menurutnya, bukan hanya soal keindahan, tetapi juga tentang membangun dialog, menciptakan kesadaran, dan menginspirasi tindakan.

Teguh Ostenrik dalam proses pemasangan karyanya di IKN

Dari kedokteran ke seni, dari Berlin ke Indonesia, perjalanan Teguh Ostenrik adalah kisah pencarian identitas dan keberanian untuk mengikuti panggilan hati. Lewat karyanya, ia membuktikan bahwa seni bisa menjadi lebih dari sekadar estetika—seni bisa menjadi suara bagi mereka yang tak bersuara, dan jembatan bagi perubahan sosial dan lingkungan yang lebih baik.

Ikuti Kami :

Scroll to Top