Peran dan Pengaruh LEKRA dalam Kebudayaan Indonesia

LEKRA atau Lembaga Kebudayaan Rakyat adalah organisasi kebudayaan yang didirikan pada tanggal 17 Agustus 1950 oleh DN Aidit, Nyoto, MS Ashar, dan AS Dharta. Organisasi ini membawa misi untuk mengajak para seniman dalam mewujudkan Republik Indonesia yang demokratis. Beberapa tokoh terkenal yang menjadi anggota LEKRA adalah Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin, Affandi, dan banyak lagi.

Latar Belakang Terbentuknya LEKRA

LEKRA dibentuk sebagai lembaga kebudayaan yang terbuka bagi semua seniman, sastrawan, dan pekerja kebudayaan lainnya, termasuk buruh dan tani. Dasar terbentuknya LEKRA adalah untuk memerdekakan rakyat Indonesia, yang meliputi hak-hak pendidikan, kebebasan berekspresi, dan lain sebagainya. Pada tahun 1956, LEKRA merilis mukadimah yang menjelaskan visi dan misi mereka, yaitu merangkul seniman agar bergabung dan mewujudkan Republik Indonesia yang demokratis.

Konferensi Pertama LEKRA 1959

Pada tahun 1959, LEKRA mengadakan konferensi nasional pertamanya di Surakarta yang dihadiri oleh Presiden Soekarno. Konferensi ini menghasilkan pengesahan Mukadimah LEKRA yang mencantumkan peraturan dasar sebagai lembaga kebudayaan. LEKRA juga menetapkan langkah-langkah dan visi seni dan kebudayaan, yaitu seni untuk rakyat dan politik sebagai panglima. Konsep seni untuk rakyat mengharapkan agar seni dinikmati oleh semua orang, sedangkan politik sebagai panglima mengarahkan karya seni untuk menyampaikan aspirasi rakyat.

Perkembangan LEKRA dan Gerakan 1-5-1

Setelah konferensi pertamanya, LEKRA mulai meluaskan jangkauannya ke masyarakat luas. Mereka membuka pintu bagi buruh dan tani, serta memberikan tempat bagi organisasi seperti SOBSI dan BTI untuk menyampaikan aspirasi dan apresiasi terhadap kebudayaan. LEKRA juga menerapkan Gerakan 1-5-1, yang terdiri dari lima kombinasi kerja yang bertujuan untuk meluaskan dan meningkatkan kualitas seni dan kebudayaan. Untuk memastikan keberhasilan lima kombinasi tersebut, LEKRA melakukan metode turun ke bawah dengan turun langsung melihat kondisi masyarakat.

Realisme-Sosialis dan Kedekatan dengan PKI

Dari nilai-nilai tersebut, Lekra melahirkan karya-karya seni yang dikenal sebagai realisme-sosialis. Realisme-sosialis mengacu pada tujuan sosialisme dalam mempertahankan dan mengembangkan antikapitalisme internasional. Karya seniman LEKRA sering kali dimuat dalam surat kabar Harian Rakjat milik PKI. Sebagai balasan, LEKRA memberikan dukungan pada setiap acara kebudayaan yang diselenggarakan oleh PKI. Meskipun terdapat kesepahaman ideologi antara LEKRA dan PKI, LEKRA tidak dikendalikan oleh PKI dan kedua pihak saling membutuhkan.

Berhentinya LEKRA Akibat Peristiwa G30S

Pada tanggal 30 September 1965, terjadi peristiwa yang dikenal sebagai Gerakan 30 September 1965 atau G30S. PKI dituduh menjadi dalang di balik peristiwa ini, dan akibatnya PKI harus dihapuskan secara menyeluruh. Dampaknya juga dirasakan oleh LEKRA, di mana semua karya LEKRA dilarang oleh pemerintah karena dianggap merongrong kewibawaan pemerintah. Meskipun demikian, Lekra tidak pernah secara resmi diakui sebagai organisasi PKI, meskipun terdapat bukti dokumen yang menunjukkan kedekatannya dengan PKI.

LEKRA merupakan organisasi kebudayaan yang didirikan dengan tujuan memerdekakan rakyat Indonesia melalui seni dan kebudayaan. Melalui konferensi-konferensi dan gerakan yang dilakukan, LEKRA berhasil meluaskan pengaruhnya dan menghasilkan karya-karya seni yang menggambarkan realisme-sosialis. Namun, berhentinya LEKRA akibat peristiwa G30S memberikan dampak yang signifikan terhadap eksistensinya. Meskipun tidak pernah secara resmi diakui sebagai bagian dari PKI, LEKRA dan PKI memiliki kedekatan ideologis yang saling mendukung.

Ikuti Kami :

Scroll to Top