Words by Lily Elserisa
“In every real man, a child is hidden that wants to play”
-Nietzche
Waktu kecil dulu, saya pernah benar-benar menginginkan boneka Barbie yang terpajang cantik di etalase suatu pusat perbelanjaan. Setiap menemani Ibu saya berbelanja, saya selalu melihat etalase itu sambil membayangkan betapa serunya memainkan boneka itu dalam adegan belanja, ke salon, dan bertemu kawan-kawannya. Pada masa itu harga boneka tersebut terlalu mahal bagi kami, sehingga saya hanya bisa memandangnya dengan keinginan yang menggebu. Hal yang paling memalukan dari kondisi tersebut, saya sempat jatuh sakit karena terlampau memikirkannya. Saya lupa tepatnya bagaimana akhirnya saya bisa memiliki boneka Barbie tersebut, kemungkinan saya menggunakan sebagian besar uang saku yang diberikan kerabat saat hari Natal, namun yang pasti saya ingat, sukacitanya luar biasa. Hari ini, saat saya melihat boneka Barbie di etalase toko, saya tidak lagi ingin memilikinya, namun kebahagiaan memainkan boneka Barbie yang pernah saya rasakan masih saya dambakan.
Nietzche mungkin memang benar. Dalam setiap diri manusia dewasa, terdapat seorang anak yang bersembunyi dan selalu ingin bermain. Membaca kutipan tersebut membuat saya menjadi maklum ketika melihat teman-teman yang bisa dibilang tak lagi muda masih mengoleksi berbagai jenis mobil-mobilan diecast, action figure, atau menonton ulang kartun masa kecilnya. Bahkan saya juga tidak mengalami keheranan yang berlebihan ketika tadi sore melihat tetangga yang telah berusia paruh baya sengaja bersenang-senang di bawah hujan yang turun dengan derasnya.
Manusia bukan hanya makhluk yang berpikir (homo sapiens) dan makhluk yang bekerja (homo faber). Manusia juga merupakan makhluk yang bermain (homo ludens). Johan Huizinga, seorang profesor, teoritisi budaya dan sejarawan Belanda pada tahun 1938 menulis sebuah buku Homo Ludens; a Study of Play Element in Culture. Dari buku itu kemudian populer istilah Homo Ludens untuk menyebut manusia sebagai “makhluk bermain”, makhluk yang suka bermain atau menciptakan permainan. Hasrat bermain dari manusia sangat erat kaitannya dengan sisi spontanitas, otentisitas, dan bagaimana ia mengaktualisasikan diri dengan penuh.
Kali ini kita akan menemui Agapitus Ronaldo (Aldo) dan hasrat bermain dalam proses berkaryanya. Saya berjumpa dengan lukisan-lukisannya pertama kali di media sosial, kemudian di beberapa pameran, selanjutnya di studionya di daerah selatan Yogyakarta. Sebagai seniman muda, Aldo telah banyak mengeksplorasi berbagai gaya dalam lukisannya. Kepekaan artistik dan craftmanship-nya ditumbuhkan dengan terlibat dalam banyak praktik artistik yang dilakukan oleh beberapa seniman-seniman di Yogyakarta, hingga menemukan gaya yang cukup diyakininya saat ini. Aldo pernah membawakan tema yang terdengar sangat romantis tentang kerinduan pribadinya akan kampung halaman. Melalui karya-karya sebelumnya, Aldo mencoba berjumpa dengan diri kanak-kanaknya dengan mengingat kampung halamannya. Selain sangat romantis, karyanya juga komikal sebab ia menyelipkan beberapa elemen-elemen visual yang cukup menggelitik penonton melalui aksi-aksi dari figurnya.
Pada presentasi tunggalnya kali ini, Aldo masih menggunakan metode berkarya yang kurang lebih sama, namun berkembang secara tema. Aldo memanggil kanak-kanak dalam dirinya yang gemar bermain untuk menemani diri dewasanya menciptakan karya-karya. Karakter figur khasnya yang menyerupai botol gembung dengan lapisan pola kembali dihadirkan dalam latar-latar permainan yang akrab kita kenali, seperti: domino, tamiya, monopoli, halma, dan lain sebagainya. Kali ini karakter-karakter tersebut tidak hanya berdiri sendiri dengan kawan-kawannya, namun juga hadir bersama karakter-karakter dari berbagai permainan yang diparodikan. Saya mengamati, bahwa ini bukanlah semata sebuah upaya ekspresif untuk menjadi lucu, namun sebuah pencarian akan kemungkinan-kemungkinan baru dalam pembentukan figur-figur khas Aldo selanjutnya.
Beberapa pembacaan terkini mengenai Homo Ludens mengungkapkan bahwa fungsi bermain yang dimaksudkan Huizinga dalam Homo Ludens yakni sebagai latihan dan relaksasi, bukan hanya bermain untuk menemukan kebahagiaan yang pada akhirnya menjadi opium semata. Kesenangan yang ditimbulkan dalam bermain merupakan bagian dari tindakan yang disengaja, dilakukan dengan sadar, dan dapat dilihat bukti-buktinya. Kesenangan dalam permainan bukanlah semata efek, namun dampak yang berumur panjang.
Setelah lulus kuliah, Aldo melibatkan dirinya secara melakukan eksplorasi yang seolah sekadar senang-senang, namun sejatinya bisa jadi sangat serius. Aldo adalah Homo Ludens yang menyengajakan dirinya berlatih dengan sukacita. Secara sadar dan sengaja, Aldo melakukan eksplorasi tema dan bentuk-bentuk baru dalam karyanya. Proses eksplorasi ini dilakukannya dengan sangat cair. Inilah yang bagi saya sangat ludic (Latin: Ludus berkaitan dengan panggung, menyenangkan, dan lelucon), dinamis, dan penuh keceriaan. Kesengajaan dalam bermain ini menghasilkan bentuk-bentuk baru dan harmoni yang lebih kompleks dalam karyanya dibandingkan karya-karyanya sebelumnya.
Karya berjudul “The First Celebration” merupakan salah satu karya yang paling riuh dan kompleks di mata saya. Sekilas, karya ini dengan mudah dapat dikenali sebagai adegan Perjamuan Malam Terakhir Yesus dengan murid-murid-Nya sebelum Ia dikhianati dan disalibkan. Meskipun dikenal dengan perjamuan malam terakhir, namun perjamuan itu konon juga dikenal sebagai hari pertama dari suatu perayaan Yahudi. Terdapat sebuah meja hijau panjang di mana figur-figur khas Aldo riuh memainkan 3 macam permainan papan, yakni: ludo, monopoli, dan catur. Di sekitar area meja, juga terdapat permainan aktivitas seperti kuda kayu, gatcha, dan balok. Pun di luar ruangan ditampilkan beberapa wahana permainan yang biasanya hadir di taman bermain atau festival, yakni carousel dan wave swinger dilengkapi dengan balon udara, domino berterbangan, dan pohon-pohon merah muda menambahkan semaraknya suasana. Semua objek pada karya tersebut dibuat flat, namun dengan lapisan pola yang berbeda-beda. Ada pola menyerupai ombak, pola garis lurus, pola silang, dsb. Hal itu dibuat untuk mewujudkan sebuah citraan figur yang sebenarnya sama saja esensi pembentuknya. Sejatinya, yang membedakannya hanyalah pola-pola yang telah membentuknya dalam hidup seperti: pola pertemanan, pola asuh, maupun pola hubungan keluarga.
Aldo menerjemahkan kembali inspirasinya ke dalam satu adegan perayaan hidup yang festive. Dalam karya tersebut, menurut saya, Aldo tengah berhasil mencapai suatu perkembangan dalam kekaryaan melalui proses “bermain”-nya. Aldo memahami dirinya yang lekat dengan berbagai macam permainan sekaligus cukup berhasil mengetengahkan sebuah realitas sosial mengenai masyarakat di tengah dunia selaksa sebuah permainan dan sandiwara semata. Kita semua diatur oleh aturan main-aturan main yang kita ikuti, tanpa pernah sepenuhnya memahami siapa yang benar-benar menjadi lawan kita, siapa yang akhirnya menjadi kawan, dan bagaimanakah akhir dari permainan yang kita mainkan. Kita mempertaruhkan banyak hal untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan sambil menertawakan lawan yang hanya memiliki sedikit modal dan keberanian. Ketika ketidakadilan menjadi akrab, kekalahan menjadi teman baik, dan terlalu lelah untuk melakukan tuntutan, yang tersisa hanyalah keberanian untuk menertawakan baik dengan legawa atau kegetiran.
“Time to Play” adalah sebuah pameran tunggal Agapitus Ronaldo yang menampilkan karya-karya yang lahir dari upaya mengajak anak kecil dalam dirinya untuk bermain dan terlibat dalam proses berkarya yang serius, reflektif, dan rekreatif. Pada proses “bermain” nya kali ini Aldo menunjukkan keseriusannya dalam bermain dan bersenang-senang. Tidak tendensius menjadi serius dan tidak pretensius menjadi jenius. Sebagai seniman muda, Aldo berhasil menimbulkan kesan bahwa karya pop bukan tentang lembut atau kasarnya tekstur, opaque atau transparannya warna, banal, buar, atau dilebih-lebihkannya suatu isu, namun bagaimana pentingnya seorang seniman memiliki dan menumbuhkan semangat bermain dalam penciptaan karyanya selanjutnya mengintegrasikannya dengan persoalan-persoalan sekitarnya.
Bagi kita semua, inilah waktunya bermain, semoga peliknya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan domestik, tekanan pekerjaan, dan tuntutan sosial tak lantas membuat hasrat manusia untuk memanggil kembali kesenangan masa kecil surut dan menjadi kering.
Bagi Aldo, selamat bermain lebih jauh.
Mainkan!
Refrences:
McDonald, P. (2019). ” Homo Ludens”: A Renewed Reading. American Journal of Play, 11(2), 247-267.
Priyambodo, Y. E. (2014). Homo Ridens: Suatu Tawaran ‘Menjadi’ Manusia Di Zaman Ini. MELINTAS, 30(1), 45-69.
Vergine, L. (2001). Art on the cutting edge: a guide to contemporary movements. Skira.